“Andaikata
engkau beribadah kepada Allah sebanyak ibadahnya penghuni langit dan bumi, maka
tidak akan diterima ibadahmu, sebelum engkau percaya kepada Allah dan
jaminanNya.”
(Uwais Al
Qorni)
Rasanya saya ingin menuliskan
kembali tentang Uwais Al Qorni dengan segala kesederhanaannya dan keikhlasannya
yang mengagumkan. Sebab, tidak banyak di masa sekarang ini seseorang yang
seperti sosoknya. Sehingga saya perlu untuk sering – sering mengingat kisahnya
ketika dalam diri ini terlintas setitik ketidakikhlasan ketika melakukan
aktivitas apapun terutama dalam dakwah. Sebab, syaithon senantiasa menyerang
dari berbagai arah berusaha memberi noda pada setiap amal sholih kita sehingga
terselip riya ataupun sum’ah di hati ini. Hanya Allahlah semata-mata
tujuan kita dan sama sekali bukanlah balasan dari manusia. Sehingga
dalam menyampaikan seruan Allah ini segalanya senantiasa kita kembalikan kepadaNya.
Bahwa ejekan tidak membuat kita futur dan pujian tidak membuat kita menjadi
sombong.
Lalu siapakah Uwais Al Qorni
?.......
Namanya memang tidak setenar para
shahabat Rasulullah seagaimana Umar bin Khaththab, Abu Bakar As shiddiq, Zaid
bin haritsah, Bilal bin Rabbah ataupun Ali bin Abi Thalib. Rasul SAW sendiri
saja bahkan belum pernah bertemu dengannya. Namun, beliau pernah bersabda
tentang jati diri Uwais Al Qorni, “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn,
dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan
dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua
lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”
Bahkan Rasul SAW sempat berpesan
pada Umar bin Khaththab ra, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk
memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka
lakukanlah!”
Subhanallah, betapa istimewanya
Uwais Al Qorni di mata Rasulullah SAW, padahal beliau pun belum pernah sekalipun
bersua dengannya. Menurut riwayat, Uwais adalah seorang pemuda miskin yang
tinggal bersama dengan ibunya yang telah tua renta dan lumpuh badannya. Untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dia bekerja sebagai penggembala kambing. Banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok,
dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam
umpatan dan penghinaan lainnya. Karena hinaan dan tuduhan yang sering
diterimanya itulah dia pernah menolak pemberian baju dari seorang Fuqoha dari
negeri Kuffah, seraya berkata, “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh
aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari
mencuri”.
Suatu ketika Ia mendengar dari
tetangganya yang sudah berIslam sepulang dari Madinah bercerita tentang ajaran yang
mereka dapatkan langsung melalui Rasulullah SAW. Betapa inginnya Ia bertemu
dengan sosok yang sangat dikagumi dan dicintainya tersebut. Namun Ia tidak mempunyai
bekal yang cukup. Terlebih Ibunya juga tidak bisa Ia tinggalkan.
Ketika terjadi perang Uhud Uwais
mendengar bahwa Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena
dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Karena rasa cintanya yang begitu mendalam
terhadap Rasulullah SAW, Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Begitulah
Ia ingin membuktikan cintanya pada manusia pilihan yang memang pantas untuk
dicinta.
Hari berganti dan musim berlalu,
dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat
dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat
menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia
mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan
sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk
berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi
hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi
SAW di Madinah.
Sang ibu, walaupun telah uzur,
merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais,
dan berkata, “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila
telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia
berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan
ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya
selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah
Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari
Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir,
bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas
di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu
dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota
Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil
mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam
Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata
beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa
kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya
tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan
Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih
terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia
cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan
kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan
kemahuannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan
terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke
negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang
dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW
langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW
menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya dan beliau
juga mengatakan bahwa Uwais adalah orang yang sangat dikenal oleh penduduk
langit. Subhanallah……
Uwais memang tidak ingin namanya
dikenal banyak orang, meski setiap doa yang di Ia lantunkan senantiasa diijabah
Allah ketika ada yang meminta kepadanya untuk dido’akan. Sampai suatu ketika Rasulullah
telah wafat, Umar r.a. teringat akan sabda Rasul SAW kepadanya untuk mencari
Uwais. Setiap Ada kafilah dari Yaman Umar r.a. yang saat itu telah menjadi
khalifah bertanya tentang Uwais, rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama
mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar
jawaban itu, beliau ditemani Ali bin Abi Tholib r.a. bergegas pergi menemui
Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a.
dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan
sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung
tersebut sambil bersalaman.
Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar
segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang
berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi
SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu
tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar
jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah,
yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian
berkata, “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka,
diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru
dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar
dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan
dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada
kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke
sini untuk mohon do’a dan istighfar darimu”. Karena desakan kedua sahabat
ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan
istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang
negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais
menolak dengan halus dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba
diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini
tidak diketahui orang lagi.” Sungguh Uwais tidak mau jika jati dirinya
diketahui banyak orang.
Beberapa waktu kemudian terdengar
kabar bahwa Uwais telah meninggal dunia, banyak orang yang datang untuk
mengurusi jenazahnya terkejut karena sejak ia dimandikan sampai ketika
jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang
yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman
tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, Siapakah sebenarnya Uwais al-Qorni ?
Bukankah Uwais yang selama ini mereka kenal, hanyalah seorang fakir yang tak
memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ?
Tapi, ketika hari wafatnya, Ia telah menggemparkan penduduk Yaman dengan
hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah dikenal. Mereka datang dalam
jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di
turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat
itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak
terkenal di bumi tapi sangat dikenal oleh penduduk langit, seperti yang pernah
disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Semoga kita senantiasa dapat
menjaga keikhlasan dalam perjuangan di jalan dakwah ini untuk menyongsong
tegaknya khilafah, sehingga kita juga lebih dikenal oleh penduduk langit ………
Aamiin
kisah yang luar biasa ini
BalasHapus