Selasa, 28 Januari 2014

Belajar Keikhlasan Dari Uwais Al Qorni



“Andaikata engkau beribadah kepada Allah sebanyak ibadahnya penghuni langit dan bumi, maka tidak akan diterima ibadahmu, sebelum engkau percaya kepada Allah dan jaminanNya.”
(Uwais Al Qorni)

Rasanya saya ingin menuliskan kembali tentang Uwais Al Qorni dengan segala kesederhanaannya dan keikhlasannya yang mengagumkan. Sebab, tidak banyak di masa sekarang ini seseorang yang seperti sosoknya. Sehingga saya perlu untuk sering – sering mengingat kisahnya ketika dalam diri ini terlintas setitik ketidakikhlasan ketika melakukan aktivitas apapun terutama dalam dakwah. Sebab, syaithon senantiasa menyerang dari berbagai arah berusaha memberi noda pada setiap amal sholih kita sehingga terselip riya ataupun sum’ah di hati ini. Hanya Allahlah semata-mata tujuan kita dan sama sekali bukanlah balasan dari manusia. Sehingga dalam menyampaikan seruan Allah ini segalanya senantiasa kita kembalikan kepadaNya. Bahwa ejekan tidak membuat kita futur dan pujian tidak membuat kita menjadi sombong.
Lalu siapakah Uwais Al Qorni ?....... 


Namanya memang tidak setenar para shahabat Rasulullah seagaimana Umar bin Khaththab, Abu Bakar As shiddiq, Zaid bin haritsah, Bilal bin Rabbah ataupun Ali bin Abi Thalib. Rasul SAW sendiri saja bahkan belum pernah bertemu dengannya. Namun, beliau pernah bersabda tentang jati diri Uwais Al Qorni, “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”
Bahkan Rasul SAW sempat berpesan pada Umar bin Khaththab ra, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”
Subhanallah, betapa istimewanya Uwais Al Qorni di mata Rasulullah SAW, padahal beliau pun belum pernah sekalipun bersua dengannya. Menurut riwayat, Uwais adalah seorang pemuda miskin yang tinggal bersama dengan ibunya yang telah tua renta dan lumpuh badannya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dia bekerja sebagai penggembala kambing. Banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya. Karena hinaan dan tuduhan yang sering diterimanya itulah dia pernah menolak pemberian baju dari seorang Fuqoha dari negeri Kuffah, seraya berkata, “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Suatu ketika Ia mendengar dari tetangganya yang sudah berIslam sepulang dari Madinah bercerita tentang ajaran yang mereka dapatkan langsung melalui Rasulullah SAW. Betapa inginnya Ia bertemu dengan sosok yang sangat dikagumi dan dicintainya tersebut. Namun Ia tidak mempunyai bekal yang cukup. Terlebih Ibunya juga tidak bisa Ia tinggalkan.
Ketika terjadi perang Uhud Uwais mendengar bahwa Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Karena rasa cintanya yang begitu mendalam terhadap Rasulullah SAW, Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Begitulah Ia ingin membuktikan cintanya pada manusia pilihan yang memang pantas untuk dicinta.
Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah.
Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemahuannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya dan beliau juga mengatakan bahwa Uwais adalah orang yang sangat dikenal oleh penduduk langit. Subhanallah……
Uwais memang tidak ingin namanya dikenal banyak orang, meski setiap doa yang di Ia lantunkan senantiasa diijabah Allah ketika ada yang meminta kepadanya untuk dido’akan. Sampai suatu ketika Rasulullah telah wafat, Umar r.a. teringat akan sabda Rasul SAW kepadanya untuk mencari Uwais. Setiap Ada kafilah dari Yaman Umar r.a. yang saat itu telah menjadi khalifah bertanya tentang Uwais, rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau ditemani Ali bin Abi Tholib r.a. bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.
Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar darimu”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.” Sungguh Uwais tidak mau jika jati dirinya diketahui banyak orang.
Beberapa waktu kemudian terdengar kabar bahwa Uwais telah meninggal dunia, banyak orang yang datang untuk mengurusi jenazahnya terkejut karena sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, Siapakah sebenarnya Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang selama ini mereka kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatnya, Ia telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah dikenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi sangat dikenal oleh penduduk langit, seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Semoga kita senantiasa dapat menjaga keikhlasan dalam perjuangan di jalan dakwah ini untuk menyongsong tegaknya khilafah, sehingga kita juga lebih dikenal oleh penduduk langit ………

Aamiin

1 komentar: