Jumat, 24 Januari 2014

Uang Tip, Rejeki Atau Musti Hati-Hati ?



Seorang bapak tengah gelisah. Barusan saja bapak tersebut kehabisan bensin di jalan tol dan mendapat pertolongan dari petugas tol. Karena merasa sudah ditolong dibelikan bensin oleh petugas, beliau bertanya ongkos yang harus dibayar atas jasa petugas tersebut. Dan dijawab petugas "suka rela bapak saja". Kemudian bapak tadi mengeluarkan lembaran 20rb an untuk petugas tol. Sesaat setelah petugas tol pergi, sang bapak baru menyadari dari membaca tulisan yang terpampang pada mobil derek tol, bahwa semua layanan tersebut adalah gratis.

Ada penyesalan di hati sang bapak. menyesal karena telah memberikan uang Rp. 20.000 nya tadi dan ada rasa kecewa terhadap ketidakjujuran petugas tadi yang tidak menginformasikan bahwa layanan yang dia berikan merupakan fasilitas bagi pengguna jalan tol.

Apa sih yang membuat bapak tersebut begitu resah? Toh, jika ditanyakan kepada kebanyaakan orang, maka mereka akan cenderung mengatakan, "sudah diikhlaskan saja, hitung2 shodaqoh" ato bahkan ada yang mengira sang bapak pelit hanya karena uang 20rb saja dipikirin.

Tapi ternyata, bukan karena jumlah uang yang telah dikeluarkannya tadi, melainkan karena perbuatan memberinya tadi akan membawa kepada sebuah kemaksiatan besar yaitu suap atau risywah..
Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai disebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah/gaji dari pemerintah atas pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap. Begitu pula dengan yang sering disebut dengan uang tip atau tanda terima kasih.

Seseorang yang tidak paham terhadap hukum syariah akan menganggap biasa dan remeh terhadap tindak risywah ini, karena umumnya kita berpikir, "apa yang salah sih, toh aku sudah ditolong. Coba kalo gak ada petugas tadi. Wajar kan, kalo aku kasih tip sebagai tanda terima kasih"

Tidak demikian dengan sang bapak, bliau merasa takut bermaksiat kepada Allah karena ikut serta menyuburkan suap. Meskipun niatnya memberi uang sebagai ongkos jasa, tanpa mengetahui sebelumnya bahwa ternyata layanan tersebut gratis tis..

Terngiang dalam benaknya sabda Rasul SAW :

Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya (HR Ahmad).

Juga dalam hadist yang diriwayatkan daripada Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda

”Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih, lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191).

Syariah Islam menegaskan, haram hukumnya seseorang pegawai menerima hadiah yang mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatannya padahal pegawai tersebut telah digaji untuk melakukan pekerjaannya tersebut. Maka jika ia menerimanya itu termasuk harta ghulul/khianat yang haram ia terima.

Padahal sekarang, praktek suap dan gratifikasi sudah dianggap bagian dari administrasi mulai di tingkat desa sampai di tingkat pusat. Baik di lingkungan pemerintahan hingga swasta. Seperti pengurusan SIM, KTP, surat-surat perizinan, padahal pegawai/pejabat itu sudah digaji untuk melaksanakan urusan tersebut, dan sebagainya. Oleh karenanya setiap suap hukumnya adalah haram dan merupakan dosa besar (al kaba`ir). Na’udzu billah min dzalik.

Nafkah yang berasal dari sesuatu yang haram maka tidak akan menghasilkan suatu keberkahan meskipun diinfakkan untuk kebaikan.

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud).

Yang dikecualikan dari keharaman ini adalah hadiah kepada pegawai yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya. Contohnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pegawai sejak sebelum dia menjadi pegawai, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini boleh (mubah) hukumnya.

Sungguh telah lengkap dan sempurna Allah menurunkan agama ini untuk mengatur kehidupan. Sesungguhnya jika syariah disosialisasikan dan diterapkan secara kaaffah dalam kehidupan bernegara, maka akan kecil peluang orang akan melakukan kemaksiatan. Sebab interaksi yang terbangun antar warga negara berlandaskan ketakwaan, sehingga aturan dan perundang-undangan yang dibangun menurut marah dan ridhonya Allah bukan karena mengikuti perasaan yang cenderung dekat dengan hawa nafsu.

Allah SWT berfirman :

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS. Al-Maa’idah : 48)

Karena hakikatnya, perbuatan setiap muslim adalah terikat dengan hukum syaria’at yang kelak akan kita pertanggungjawabkan. Maka dari itu diperlukan kehati-hatian dalam beraktivitas, sehingga kita tidak menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Kajilah Islam secara intensif, agar kita tidak ikut menjadi bagian sebagai penyubur kemaksiatan tapi justru menjadi agen perubahan dunia menuju tegaknya khilafah yang dijanjikan.

Salam Perjuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar