Teringat saya ketika waktu masih kuliah, dimana setiap hari
saya selalu bertemu dengan orang asing. Ya, ketika itu saya kuliah di pulau
Bali, tepatnya di kawasan Perhotelan Nusa Dua yang penuh orang asing. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, yang disebut orang asing adalah orang yang tidak
dikenal atau orang yang berasal dari negara lain. Secara fisik, mereka memang
berbeda dengan saya. Kalau kebanyakan dari kita yang di Indonesia memiliki mata
yang hitam sementara mereka memiliki mata yang biru atau coklat, kalau kita
berambut hitam, maka umumnya mereka orang asing tersebut berambut pirang dan
perbedaan yang mencolok lainnya adalah mereka memiliki bahasa yang sama sekali
berbeda dengan bahasa pengantar kita sehari-hari. Jadi wajarlah jika keberadaan
orang asing ini kerap menarik perhatian dari orang – orang sekitar.
Mereka memperhatikan karena biasanya orang asing tersebut memiliki suatu kebiasaan yang sama sekali berbeda dengan yang berlaku di setiap negara yang mereka kunjungi sehingga kadang dianggap aneh. Seperti misalnya, pengalaman saya pribadi ketika sedang training, dimana saya selalu menemukan rempah-rempah dan biji-bijian pada kamar seorang yang berkebangsaan India, sehingga aroma menyengat seperti jamu akan memenuhi ruangan ketika kita memasuki kamarnya atau kebiasaan turis asing yang mereka bisa tidak makan nasi tapi cukup hanya dengan roti. Yah, intinya yang disebut orang asing itu karena mereka berbeda (khas/unik) dengan kebanyakan orang yang ada di suatu tempat tertentu dan dalam waktu tertentu pula.
Terkait dengan pembahasan orang asing, saya pernah mendengar
sebuah cerita dari seorang Ustadz tentang seorang raja yang terlahir cacat
dengan satu telinga. Karena ia tidak ingin dianggap aneh, maka ia memerintahkan
kepada warganya untuk memotong satu telinganya, begitu pula pada setiap bayi
yang baru terlahir di negerinya. Tradisi potong telinga ini sudah berlangsung
bertahun-tahun sehingga akhirnya, warga di negerinya menjadi terbiasa dengan satu
telinga. Sampai suatu hari mereka kedatangan orang asing yang terdampar di negeri
satu telinga tersebut. Semua warga negeri itu heran memandangi sang orang asing
yang memiliki telinga lengkap. Mereka merasa bahwa orang asing yang datang ke
negerinya adalah orang aneh yang tidak “normal” karena jumlah telinganya tidak
sama dengan mereka, sehingga Ia menjadi bahan olok-olok dan tertawaan penduduk
negeri satu telinga.
Cerita di atas dalam kehidupan nyata sekarang ini bukanlah
hanya sekedar cerita saja. Saya
contohnya, pernah merasa menjadi orang asing meskipun saya tidak berada di luar
negeri sebagai turis. Saya tetap di negeri saya, hanya saja saya pada waktu itu
sudah mulai mengaji dan belajar Islam. Dari yang tadinya tidak menutup aurat
kemudian saya mulai berkerudung dan berjilbab. Banyak tatapan dan reaksi yang
saya dapatkan ketika saya memasuki kampus saya di Bali. Ada yang mengejek, ada pula
yang senang. Namun yang jelas mereka sebagian besar merasa heran. Begitulah
rasanya menjadi orang asing, sebab di jaman saya belum banyak para muslimah
yang berkerudung waktu itu. Repot juga menjadi seperti orang asing,
sampai-sampai saya tidak bisa menyelesaikan skripsi saya, karena terbentur
dengan atuaran sekolah yang sulit ditawar terkait dengan aturan berpakaian.
Dan ternyata hal tersebut tidak hanya berlaku pada saya saja
namun juga pada teman – teman saya yang baru saja “hijrah” dari kondisi
kejahiliahannya menuju kehidupan islaminya. Mereka pasti akan dikatakan sebagai
orang asing. Bayangkan saja disaat trend yang ada pada saat itu adalah baju
tank top terbuka yang mengumbar aurat dan celana ketat, kami justru memilih
yang sebaliknya, juga disaat kebanyakan orang tua membiarkan anaknya bergaul
bebas dengan berpacaran, kami memilih untuk menikah tanpa pacaran. Disaat
kebanyakan muslimah berdandan all out agar terlihat kecantikannya, kami memilih
untuk tidak menampaknya kecuali bagi yang berhak saja. Disaat kebanyakan orang
bangga dengan barang-barang yang dikreditnya, kami malah memilih untuk
meninggalkan riba meski sulit untuk membeli dengan kontan, disaat banyak para muslimah menghabiskan waktunya berjalan-jalan di mall, kami memilih berpayah-payah di jalan dakwah.
Itulah kondisi dunia kita sekarang yang sekuler seperti sekarang.
Seseorang yang ingin mengamalkan aturan Allah secara kaffah dalam kehidupan
akan menjadi seperti orang yang asing di bumi yang telah Allah ciptakan.
Berbagai kemunkaran dan kemaksiatan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, namun
kesholihan dan ketaatan menjadi sesuatu yang dianggap aneh dan asing saat ini.
Lihat saja bagaimana Allah telah memberi peringatan dengan mengadzab kaum Luth
karena perilaku homoseksualnya yang menyimpang. Tapi adakah peringatan itu kita
indahkan ? Yang terjadi adalah sebaliknya, mereka kaum LGBT ( Lesbian, Gay,
Bisex dan Trans Gender) semakin subur bahkan kian mendapat pengakuan. Dan
bagaimana nasib mereka yang hendak menegakkan agama Allah ini? Maka mereka akan
mendapatkan stigma negatif di tengah-tengah masyarakat, seperti adanya julukan
Islam radikal, fanatik, garis keras, teroris dll.
Tentang hal ini Rasulullah SAW beribu-ribu tahun yang lalu
beliau pernah bersabda,
“Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan
akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang
terasing tersebut”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa
al-ghuraba (orang asing) ini?” Rasulullah SAW. Bersabda, “Mereka adalah
orang yang melakukan perbaikan ketika manusia sudah rusak” (Hadist
diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al kabir)
Ibnu Atsir dalam
kitabnya al-Nihayah (III/348) berkata,”….yakni, pada awalnya bagaikan seseorang
yang asing, karena tidak ada penganutnya. Pada saat itu, -orang yang masuk
Islam sangat sedikit jumlahnya. Islam akan kembali menjadi asing seperti
semula; yakni kaum muslim (yang benar-benar muslim-pentj] sedikit sekali
jumlahnya di akhir zaman, sehingga mereka bagaikan orang-orang yang terasing.”
Demikianlah keadaan yang telah diramalkan Rasullah SAW
terjadi dan kita alami. Islam seolah tidak dikenal. Wajar jika karena sekularisme ini pula kaum muslimin
banyak yang tidak mengenal ajaran agamanya sendiri. Dalam kehidupan berekonomi
mereka lebih paham apa yang diajarkan adam Smith dibanding dengan apa yang
telah Rasul SAW contohkan, demikian pula dalam aturan pemerintahan, pergaulan,
pidana, pendidikan dll.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin
Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Suatu hari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan ketika itu kami berada di sisi
beliau, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Kemudian ada yang menanyakan,
“Siapakah yang dimaksud orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?”. Maka
beliau menjawab, “Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah orang-orang
yang jelek lagi banyak [jumlahnya]. Orang yang mendurhakai mereka lebih banyak
daripada orang yang mentaati mereka.” (HR. Ahmad 6362 [13/400], disahihkan
al-Albani dalam Shahih w a Dha’if al-Jami’ 7368 [3/443] as-Syamilah)
Oleh karena itu jika kita merasa terasing karena menegakkan
aturan Allah ini, maka berbahagialah karena itu berarti kita termasuk orang-
orang yang melakukan perbaikan ketika manusia sudah rusak. Dan kita berada
diantara manusia yang jumlahnya sedikit. Sedikit karena melawan arus yang yang ada.
Go ahead, bersemangatlah untuk tetap
menegakkan agamaNYa, sebagimana perkataan Fudhail bin Iyadh “Janganlah
kamu merasa rendah diri karena menempuh jalan yang benar walaupun sedikit orang
yang menempuhnya, dan kamu jangan tertipu dengan yang bathil walaupun banyak
orang yang mengamalkannya.” [Minhajul Taksis wat Taqdis fi Kasfi Syubuhat,
Dawud bin Jarjis: 1/84]. Keep the Faith!! Wallahu a'lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar