Ingatlah, janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan
seorang wanita (bukan mahramnya) melainkan yang ketiganya adalah syaitan.” (Sunan Tirmidzi)
Untaian kata-kata
dari sastrawan favoritmu menghias kartu lebaran yang kamu kirim padaku tahun
lalu. Kamu masih ingat khan, Re. Kartu mungil itu juga berhiaskan fotomu, kamu
bilang kalo' meskipun kita baru kenal tapi rasanya udah lama. Kita waktu itu
memang baru satu bulan kenal. Kesan pertamaku, kamu lucu. Sebetulnya kalo' kamu
pingin tau, Aku nggak pingin deket sama cowok apalagi buat pacaran. Aku yakin
kamu juga masih ingat jawabanku waktu kamu "nembak" aku dan pingin
jadi pacarku, aku bilang sama kamu kalo' aku pingin dicintai dan disayangi
dengan cara yang halal dan hanya pertemanan yang waktu itu kutawarkan agar
terdengar halus untuk sebuah penolakan. Kamu setuju, tapi setiap hari kamu
tetap menelponku dan selalu menawarkan bantuan untukku, karena aku menggunakan
perasaanku, alasan-alasan yang kau buat untuk membujukku selalu membuatku
memenuhi keinginanmu.
" Thaya nggak
suka temenan sama Re, yach." Katamu ketika suatu kali aku menolak ajakanmu
untuk menghadiri Dialog Ramadhan di masjid.
"
Thaya, kamu tahu nggak selama aku kuliah disini belum pernah aku punya temen
yang kaya' kamu. Iya, pokoke yang selalu tertarik sama kegiatan keislaman kaya'
kamu ini."
"
Nggak ah, kalo' cuman berdua." Jawabku pendek.
" ya udah, kalo'
nggak mau " bunyi 'brak' dan nada kesalmu mengakhiri pembicaraan kita.
Aku tau kamu pasti ngambeg.
Karena aku masih menggunakan perasaanku, besoknya aku telpon kamu untuk
menanyakan keaadaanmu dan meminta maaf. Lalu ku coba untuk memahami keinginanmu
yang haus ilmu.
Re, bulan puasa
bersamamu kadang membuat konsentrasi ibadahku terpecah. Aku nggak tau musti
gimana ngejelasin ke kamu. Aku rasa kamu juga masih ingat kalo' aku pernah
mengatakan padamu bahwa jangan ganggu ibadahku. Itu adalah sinyal yang sengaja
aku ciptakan agar tidak terjalin hubungan yang terlalu jauh diantara kita
seperti prinsipku dulu. Dan aku sedikit kaget mendengar responmu atas
pernyataanku itu.
" Thaya udah
bosen yach sama Re, malu yach punya temen kaya' Re, iya emang Re nggak ada yang
bisa dibanggain. Re emang malu-maluin kalo' jalan sama Thaya" begitu tuduhmu bertubi-tubi.
Karena aku masih
menggunakan perasaanku lalu aku bujuk kamu.
" Siapa bilang
Re malu-maluin. Thaya seneng punya teman kaya' Re. Re baik, Re juga perhatian.
Justru karena Re terlalu baik Thaya takut suatu saat jadi tergantung sama Re”.
Kamu tau Re, sebenarnya
ada alasan yang paling mendasar, yaitu aku merasa bahwa itu bukanlah hakku
untuk diperlakukan demikian. Karena menurutku perhatian dan perlakuan istimewa
seorang laki-laki haruslah diberikan kepada wanita yang memang mahromnya.
Padahal aku hanya menawarkan pertemanan biasa dan oleh karena itu aku nggak mau
kalo' kamu terlalu berlebihan sehingga kamu menuntut hal yang sama kepadaku
karena selama ini aku mencoba memperlihatkan sikap yang wajar terhadapmu
sebagai seorang teman sama seperti yang lain.
Re, waktu itu baru
beberapa bulan sebagai seorang muslimah aku diberi hidayahNya untuk menjaga
auratku dangan pakaian takwa. Disaat kebanyakan orang menentangku kamu datang
untuk memberi dukungan padaku. Senang rasanya, ada yang mau mengerti tentangku.
Apalagi ketika kau tunjukkan foto keluargamu yang menggambarkan suasana Islami
di rumahmu. Bertambah semangatku untuk mendengar cerita tentang masa kecilmu
agar ada pelajaran yang bisa aku ambil untuk bekalku. Ternyata kamu bandel
yach, Re. Tapi aku yakin bahwa orang tuamu sudah melakukan yang terbaik untukmu
dan banyak membekalimu meskipun itu tidak nampak tercermin dari cari bergaulmu
karena kunilai penghayatan akan Islam dalam kehidupanmu kurang. Itulah sebabnya
aku mau denger curhat kamu, karena kuharap dari jawaban dan responku kamu bisa
berfikir dan menyadari kekeliruanmu atas masa lalumu. Semua itu agar kamu lalu
lebih mengenalNya dan mencitaiNya dan bukan mencintaiku.
Bersamamu ada diskusi
kecil yang kadang membuatku sejenak berfikir akan pembuktian kebenaran
ayat-ayat Allah dan kebenaran aturannya yang selama ini aku menganggapnya
sebagai sesuatu kewajaran. Sebelum aku kenal kamu, kamu tau betul khan siapa
aku. Aku anak gaul yang nggak pernah nitip absen buat clubing. Bagiku
aturan agama adalah dogma yang masih nggak jelas maknanya. Tapi Alhamdulillah
Allah masih menyayangiku sehingga perlahan- lahan dibukalah mata hatiku,
pendengaranku dan penglihatanku sehingga yang bathil menjadi jelas di pelupuk
mataku. Allah dengan kemurahannya memberikan ilmunya kepadaku untuk menjawab
berbagai pertanyaan yang sering terlintas dibenakku tentang hakikat hidup ini.
Kamu juga tau khan Re, betapa aku ingin berubah dan melupakan masa laluku dan
aku berharap kamu mengerti itu. Aku ingin mendekatkan diri dengan Allah, Tuhan
kita Re. Karena aku sadar bahwa rahmat, taufik serta hidayahNya yang telah
dilimpahkan kepada kita sungguh tak akan pernah terbalas apalagi hanya dengan
mengingatNya dalam waktu 15 menit x 5 setiap harinya dan setelah ibadah itu
selesai asmaNya tergeser begitu saja dalam ingatan kita. Aku ingin
menyadarkanmu bahwa kita hanyalah mahluk yang sangat bergantung kepadaNya dan
kita sama sekali tidak punya kuasa apa-apa atas setiap kehendakNya. Kadang aku
ingin menceritakan kepadamu begitu nikmatnya memilin tasbih dan bersimpuh untuk
merasakan kasih sayangNya, kedekatanNya serta kehadiranNya yang akhirnya
memberiku penyadaran bahwa alam semesta ini diciptakan tidaklah sia- sia adalah
merupakan kenikmatan yang tak dapat tergantikan oleh apapun di dunia ini. Andai
kamu pernah merasakan pasti kamu akan mengerti mengapa selalu jawaban
'terserah' yang terlontar dari mulutku jika kamu ingin datang padaku dan
berbagi cerita denganku, hanya saja aku tidak mau kamu tersinggung jika
sebenarnya aku menolak kehadiranmu di rumahku. Itu karena aku masih menggunakan
perasaanku. Toh, jika kujawab 'keberatan' aku akan kembali mendengarkan
tuduh-tuduhanmu yang itu – itu juga. Yang pada akhirnya akan menimbulkan
perasaan bersalah dalam hatiku.
"
Thaya, malam tahun baru aku tarawih di masjid yang dekat rumah kamu yach,
sekalian maen”
Kata hatiku sempat
berkata tidak tapi mulutku berkata lain.
" Boleh tapi
jangan sampai larut malam, ok!" Pertimbanganku adalah bahwa malam itu aku
akan ditemani saudaraku Ratna yang menginap dirumahku yang setidaknya itu
menjaga kami dari khalwat, begitu pikirku waktu itu.
Usai tarawih kita
mengobrol panjang lebar sehingga tak terasa aku telah terhanyut oleh obrolan
tersebut hingga malam pun telah larut.
Kalau ayahku tidak mondar- mandir, mungkin pembicaraan kita akan terus
berlanjut. Kamu tau Re, itu berarti bahwa prinsipku yang selama ini kupegang,
dengan sangat perlahan mulai mengalami pergeseran. Bisikan-bisikan halus yang
bernada permisif mulai mengahantarkanku untuk membagi ingatan kepadamu. Re,
dalam setiap kebersamaan kita selalu ada cerita - cerita yang tercipta. Aku
takut jatuh cinta padamu, Re. Aku kadang terbuai oleh perlakuan dan sikapmu
yang istimewa padaku. Jika sudah begitu aku akan buru-buru berdo'a, "ya
Allah, jika cinta yang kurasakan adalah dosa, lenyapkanlah dalam hatiku dan
jangan biarkan aku terhanyut didalamnya".
Lebaran akhirnya tiba
juga, Re. Siangnya kamu ke rumah, kamu kembali memohon cintaku. Entah apa yang
tiba-tiba membuat mulutku lancang menjawab.
" Thaya
sebetulnya juga suka sama Re" Upss, aku serasa tersedak kaget terhadap apa
yang barusan terucap. Ya Allah, kenapa itu jawaban yang keluar.
"
Alhamdulillah" katamu.
Enteng tanpa beban
aku telah berucap cinta padamu yang jelas berlawanan dengan prinsipku. Setelah
kamu pulang, aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan besar dalam
hidupku.
Re, semenjak hari itu
hatiku tidak pernah tenang. Segala cara kucoba untuk mengusir perasaan galau di
hati ini. Kamu tau Re, betapa gelisah kutunggu kedatanganmu Sabtu itu. Badanku
menggigil begitu hebatnya sampai tak sadar gigikupun gemertak, azab Allah yang
terbayang. Mbak Luthfi pembimbing kajianku sempat kuhubungi, terngiang
penjelasannya tentang zina mata, zina telinga sampai zina hati. Al Qur'an yang
kubaca pun mengisyaratkan hal yang sama " Wa laa takrabuz zina"
janganlah kamu mendekati zina. Tak henti mulutku beristighfar untuk memohon
ampunanNya. Serasa baru tersadar bahwa perlahan sekali aku telah melupakan
peringatanNya. Aku biarkan setan menuntunku untuk mendekati laranganNya.
Re,
tangis ketakutanku tak bisa kubendung lagi begitu kau datang. Dan leganya hati
ini ketika kuutarakan apa yang sedang terjadi hingga kau mengerti. Aku serasa
bernafas kembali, Re. Aku telah mendapatkan kesadaranku kembali, aku harap ini
dapat menjadi pelajaran tidak hanya buatku tapi buat kita. Bahwa kita telah
melakukan kebodohan yang membuat waktu kita yang seharusnya untuk mencari
perhatianNya menjadi terlewati dengan sia-sia. Tak ada ridha Allah untuk segala
perlakuan istimewamu dan setiap perhatianmu untukku. Tidak ada dalilnya bahwa
kata ‘abang’ atau ‘sahabat’ bisa mensahkan hubungan seseorang dengan yang bukan
mahrom selain sebuah pernikahan. Kita adalah manusia yang dengan segala
fitrahnya mempunyai gharizah untuk mencintai dan dicintai. Jika kita
bisa menempatkannya dengan tepat disitulah ridha Allah, maka jika dihatiku
tumbuh cinta tanpa ridhaNya, maka katakan padaku Re, patutkah aku
mempertahankannya?
Sebulan
telah berlalu tanpamu. Aku di kotaku untuk melanjutkan kuliahku dan kau kembali
ke kota asalmu mempersiapkan wisudamu. Re, ternyata kita telah berbuat banyak
kesalahan. Karena aku begitu menonjolkan perasaan ketimbang akalku maka aku
terjebak dalam cara pertemanan masa kini yang sebenarnya dilarang dan sudah
diatur dalam syari’at. Perlahan tapi pasti setan telah menggiring kita sehingga
kita tersesat menjauh dari peringatanNya. Halus sekali, sehingga aku merasa
berat untuk berkata ‘tidak’. Baru kusadar bahwa Allah tidak pernah salah dalam
menetapkan hukum dan aturan untuk umatnya. Kuterngiang akan sebuah ayat dari
Surat Al-Ahzab yang ke–36 bahwa “ Tidak patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Re,
tahukah kamu betapa bersyukurnya aku atas peringatanNya. Kini aku telah kembali
lagi bersama ukhti – ukhti di pengajianku yang dulu semenjak aku mengenalmu
sempat ku nomor duakan. Mengingatmu Re, kadang membuatku tersenyum dan
berfikir. Bukankah jodoh adalah ketentuanNya ? Dan ternyata kita sok tau
yach,Re.
Oh
Ya, aku sudah terima undangan pernikahanmu. Selamat memulai hidupmu, Re. Do’a
ku untuk bahagiamu. Satu pesanku, terapkan syari’at agar kesalahan kita tidak
terulang lagi pada generasimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar