Minggu, 21 Juli 2013

Pendapat Ulama dan Fuqoha Tentang Khilafah



Definisi Khilafah:
n  Khilafah berasal dari kata khalafa (bentuk mashdar), jika dinyatakan khalafahu fi qaumihi (mewakilinya sebagai pemimpin di kaumnya), artinya adalah yakhlufuhu khilafatan (mewakilinya sebagai seorang khalifah (wakil).  Allah swt berfirman:
            "Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, “Gantikanlah  aku dalam (memimpin) kaumku.”[al-A’raf:142] (Imam al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz I, hal.8).
n  Dalam Kamus Lisaan al-‘Arab disebutkan, “istakhlafa fulaan min fulaan: ja’alahu makaanahu.  Wa khalafa fulan fulaanan idza kaana khaliifatuhu yuqaal: khalaftu fulaanan, akhlifuhu takhliifan, wa istakhlaftuhu anaa ja’altuhu khaliifatiiy wa istakhlafahu. [fulan menggantikan [kepemimpinan] fulan yang lain; yakni menggantikan posisinya.    Fulan menggangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinannya] jika khalifahnya berkata, “saya mengangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinanku], aku menganggkatnya sebagai wakil, dan saya mengangkatnya [sebagai wakil], dan saya menjadikan ia sebagai khalifahku, dan menggantikannya.]” (Ibnu Mandzur, Lisaan  al-‘Arab, Jilid I, hal. 882, 883, pada bab khalafa).
n  Abu Baqa’ berkata, “Khalifah adalah orang yang menggantikan dan menempati posisi orang lain….sedangkan Khilaafah adalah niyabah [perwakilan] dari orang lain, disebabkan karena kepergian orang yang diwakilinya, kematiannya, serta karena kelemahannya.” (Abu Baqa’, al-Kulliyaat, hal.427)  


n  Secara literal, khaliifah bermakna, “Orang yang mewakili orang-orang sebelumnya.  Bentuk jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’. Seperti halnya kariimah dan karaaim, maka bentuk jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’.  Imam Sibawaih berkata, “Khaliifah wa khulafaa’.(Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy, Qawa’id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, ed.I, hal. 225.)
n  Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy menyatakan, ”...Al-Khaalifah sendiri memiliki banyak makna, “al-Qaa’idah fi al-Daar min al-Nisaa’ [Wanita yang duduk (menaphouse) di dalam rumah ]; “al-mukhtalif ‘an al-qaum fi al-ghazw”[orang yang lari dari kaumnya pada saat peperangan], “al-katsiir al-khilaaf “ [orang yang sangat menentang], “al-faasid min al-naas” [orang suka berbuat kerusakan], atau “al-ladziy laa ghinaa’ ‘indahu wa laa khair fiihi.” [orang yang tidak memiliki keutamaan sama sekali]. (Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy, Qawa’id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, ed.I, hal. 351).
Definisi Khilafah menurut Istilah :
n  Khilafah adalah, “Pengganti dari Rasulullah saw dalam melaksanakan syari’at Islam.”  Ini adalah definisi khilafah menurut Musthofa Shabariy, Syaikhul Islam di Daulah ‘Utsmaniyyah. (Musthofa Shabariy, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Aalim, juz.IV; hal.363)
n  Imam Baidlawiy mendefinisikan, “Pribadi yang menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syari’at Islam dan menjaga agama, dimana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim (ummat).” (Imam Baidlawiy, Hasyiyyah Syarh al-Thawaali’, hal.228)
n  Imam Kamal bin Himaam mendefinisikan, “Orang yang berhak mengatur urusan seluruh kaum Muslim.” Imam Kamal bin Himaam, Al-Musaamirah fi Syarh al-Masaayirah –lil Kamaaliina; hal. 141)
n  Al-Qalqasyandiy mendefinisikan, “Kekuasaan umum atas seluruh umat” (Imam al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi   Ma’aalim al-Khilaafah, juz I, hal.8).
Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy mendefinisikan, “Kepemimpinan umum pada perkara dunia, dan akherat yang dimiliki oleh seseorang.” Kemudian ia menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai,”Khilafah al-Rasuul dalam menegakkan agama dan menjaga agama yang ia wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim.” (Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy, Mawaaqif wa Syarhihi, juz.5, hal.66, point 2)
n  Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khilafah sebagai, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama, dan mengatur kehidupan dunia.” (Nihaayah al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz.7; hal.289)
n  Imam al-Mawardiy mendefinisikannya dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.” (Imam Al-Mawardiy, Al-Ahkaam al-Sulthaniyyah, hal.3)
n  Ibnu Khaldun mendefinisikan, “Wakil dari Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal.159)
n  Syaikh al-Islaam Ibraahim al-Baijuriy mendefinisikan, “Wakil  Nabi saw untuk mengatur kemaslahatan kaum Muslim.” (Imam Ibrahim Al-Baijuriy, Tuhfat al-Muriid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, juz II, hal.45).
v Dr. ‘Abd al-Majid al-Khalidiy menyatakan, “Yang tepat, kedudukan (munashib) khilafah atau khalifah harus didefinisikan sejalan dengan tujuan disyari’atkannya kewajiban menegakkan Daulah Islamiyyah atas kaum Muslim.”  Bila kita kaji lebih mendalam mengenai fakta Daulah Islamiyyah, maka kita akan mendapati dua perkara penting berikut ini:
Ø  Daulah Islamiyyah bertugas menegakkan hukum-hukum syara’ atas semua rakyat;  mengumpulkan dan mendistribusikan  zakat, menegakkan hudud, serta mengatur urusan masyarakat dengan Islam, dan mengatur sistem kehidupan Islam secara umum.”
Ø  Daulah Islamiyyah bertugas mengemban dakwah Islam, di luar batas wilayah Daulah Islamiyyah seluruhnya; melenyapkan hambatan-hambatan serta halangan-halangan yang menghadang da’wah Islam dengan metode jihad.
Walhasil, definisi Khilafah yang paling tepat adalah,”Kepemimpinan Umum bagi seluruh kaum Muslim di kehidupan dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.”  (Dr. ‘Abd al-Majid al-Khalidiy, Qawaa’id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal.229
Hukum Menegakkan Khilafah Menurut Para Ulama
n  Hukum mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar mengatakan:
           "Jumhur ulama berpendapat bahwa mengangkat imam hukumnya adalah wajib.  Namun, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan, apakah kewajiban itu ditetapkan secara 'aqliy atau syar'iy. Sebagian menyatakan wajib secara 'aqliy.  Menurut al-Jahidz, al-Balkhiy dan Hasan al-Basriy, kewajiban mengangkat imam itu ditetapkan secara akal dan syar'iy.” (Imam Syaukani, Nail al-Authar, juz 9, hal. 146-147)
n  Imam Qurthubiy, dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan:
  "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya mengangkat khilafah di kalangan umat Islam dan juga di kalangan imam madzhab, kecuali pendapat yang dituturkan oleh orang yang tuli terhadap syariat (al-'asham), dan siapa yang mempropagandakan atau mengikuti pendapat dari madzabnya.” (Imam Qurthubiy, al-Jaami' li al-Ahkaam al-Quran, juz 1, hal. 264)
n   Abu Ya'la al-Firaiy dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah berkata:
            "Hukum mengangkat seorang imam adalah wajib.  Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Mohammad bin 'Auf bin Sofyan al-Hamashiy, menyatakan, "Fitnah akan muncul jika tidak ada imam yang mengatur urusan manusia.”(Abu Ya'la al-Farra'iy, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal.19)
n  Dalam kitab al-Siyasah al-Syar'iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah berpendapat:
              "Usaha untuk menjadikan kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah adalah kewajiban.  Taqarrub kepada Allah dalam hal kepemimpinan yang dilakukan dengan cara mentaati Allah dan RasulNya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama….” (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161)  Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab yang sama juga menyatakan: "Bahkan, agama ini  tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah..” (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hal. 375)
n  Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Siyasah al-Syar'iyyah  mengatakan:
              "Atas dasar itu, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk mengangkat para penguasa (wulaat al-amriy) atas mereka, dan memerintahkan penguasa tersebut untuk menunaikan amanah kepada yang berhak.  Jika mereka menetapkan hukum di tengah-tengah manusia, mereka harus menetapkannya dengan adil.  Allah juga telah memerintahkan umat manusia untuk menaati para penguasa tersebut dalam ketaatan kepada Allah.“(Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasat al-Syar'iyyah, hal 64)
n  Imam 'Ali pernah berkata:
              "Manusia wajib memiliki pemimpin (khalifah) entah yang baik maupun yang buruk."  Lalu, ada yang bertanya kepada beliau, "Amirul mukminin, kalau yang baik kami sudah mengetahuinya, akan tetapi bagaimana dengan pemimpin yang dzalim?  Imam Ali menjawab, "Asalkan dia tetap menjalankan hudud, mengamankan jalan-jalan umum, berjihad melawan musuh, dan membagikan harta fai'.” (lihat dalam Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa, juz 28, hal. 297)
n  Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fi al-Milaal wa al-Ahwaa' wa al-Nihaal mengatakan:
              "Mayoritas Ahlu Sunnah, Murji'ah, Syi'ah, dan Khawarij bersepakat mengenai wajibnya menegakkan imamah (khilafah).  Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib mentaati imam adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa Rasulullah saw." (Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milaal wa al-Ahwaa' wa al-Nihaal, juz 4, hal. 87)
n  Al-Haitsamiy dalam al-Shawaa`iq al-Muhriqah berpendapat:
              "Ketahuilah, para shahabat ra telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib.  Bahkan, mereka telah menjadikan hal ini sebagai kewajiban yang terpenting.   Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitsamiy, al-Shawaa`iq al-Muhriqah, hal. 17)
n  Imam Nawawiy, dalam Syarah Muslim berkomentar:
              "Mereka (imam madzhab) telah bersepakat, bahwa kaum muslim wajib mengangkat seorang khalifah." (Imam Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 205)
n  'Abdurrahman 'Abdu al-Khaaliq, dalam bukunya al-Syura, mengatakan:
              "Imamah al-'Amah (kepemimpinan umum) atau khilafah adalah institusi yang dibebani  tugas untuk menegakkan syariat Allah swt, memutuskan hukum dengan KitabNya, menjalankan urusan kaum muslim, memperbaiki keadaan mereka, dan melancarkan jihad terhadap musuh mereka.  Tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslim mengenai kewajiban tegaknya Khilafah dan keharusan eksistensinya (keberadaannya).  Mereka akan mendapatkan dosa jika lalai dari upaya mendirikannya.“‘(Abdurrahman 'Abd al-Khaliq, al-Syura, hal. 26)
n  Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah berkata:
              "Sesungguhnya, mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib.  Kewajibannya dalam syariat telah diketahui berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in.  Tatkala Rasulullah saw wafat, para shahabat segera membai'at Abu Bakar ra dan menyerahkan pertimbangan berbagai macam urusan mereka kepadanya.  Demikian pula yang dilakukan kaum Muslim pada setiap masa setelah Abu Bakar.   Untuk itu, pada setiap masa yang ada, tidak pernah terjadi anarkhisme di tengah-tengah umat manusia.  Kenyataan semacam ini merupakan ijma' yang menunjukkan adanya kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah)." (Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 167 )
n  Imam al-Mawardiy, dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah menyatakan:
              "Menegakkan Imamah di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada ijma' shahabat..“(Imam al-Mawardiy, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal. 5)
n  'Abd al-Qadir al-Audah, dalam bukunya al-Islaam wa Awdla'unaa al-Siyaasiyah, menyatakan:
              "Khilafah dianggap sebagai salah satu kewajiban diantara fardlu kifayah yang lain, seperti halnya jihad dan peradilan (qadla').  Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat, maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum muslim.  Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini.  Sebagian 'ulama berpendapat, bahwa dosa hanya menimpa dua golongan saja dari kalangan kaum muslim; yakni pertama, ahlu al-ra'yi (kalangan ulama) hingga mereka mengangkat salah seorang dari kaum muslim sebagai khalifah; kedua, orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai khalifah hingga seorang dari mereka terpilih sebagai khalifah.   Pendapat yang benar adalah; dosa tersebut akan menimpa seluruh kaum muslim.  Sebab, seluruh kaum Muslim telah menjadi obyek taklif (khithab) dari syariat, dan mereka berkewajiban untuk menegakkannya….Jika pemilihan khalifah ini diserahkan kepada satu golongan dari kalangan kaum muslim, maka kewajiban seluruh umat adalah mendorong golongan tersebut untuk menunaikan kewajibannya.  Jika tidak, umat turut memikul dosanya…"       ('Abd al-Qadir al-Audah, al-Islaam wa Awdla'unaa al-Siyasiyah, hal. 124)
n  Dr. Mahmud al-Khalidiy, dalam bukunya Qawaa'id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, mengatakan:
           "Tidak ada kehinaan yang menimpa kaum Muslim –yang menjadikan mereka hidup di pinggiran dunia--, mengekor berbagai umat, dan terbelakang dalam sejarah, kecuali kelalaian mereka dalam berjuang untuk mendirikan Khilafah, serta tidak bersegeranya mereka untuk mengangkat seorang Khalifah bagi mereka.  Semua ini dikarenakan adanya kewajiban untuk selalu terikat dengan hukum syariat yang telah menjadi perkara yang sudah lazim (ma'lum min al-diin wa al-dlarurah), seperti halnya sholat, puasa, dan haji.  Melalaikan tugas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam adalah kemaksiyatan terbesar.  Untuk itu, mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslim adalah kewajiban dan merupakan keharusan  dalam rangka menerapkan hukum-hukum syariat atas kaum muslim, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia.(“Dr. Mahmud al-Khalidiy, Qawaa'id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal. 248)
n  Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh 'ulama-'ulama terkemuka, misalnya, Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Muslim, al-Tirmidziy, al-Thabaraniy, serta ashhaab al-sunan yang lainnya; Imam al-Zujaj, al-Baghawiy, Imam Zamakhsyariy, Ibnu Katsir, Imam Baidlawiy, Imam Al-Thabariy, Qalqasyandiy, dan lain-lain. (Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, hal. 26; al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi Ma'aalim al-Khilaafah, juz 1, hal. 16; Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz 1, hal. 209; al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta'wiil, hal. 206, al-Thabariy, Tariikh al-Umam wa al-Mulk, juz 3; hal. 277; Ibnu Taimiyyah, Minhaaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, juz 1, hal. 137-138; Ibn 'Abd al-Barr, al-Isti'aab fi Ma'rifah al-Ashhaab, juz 3, hal. 1150, dan sebagainya).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar