Definisi Khilafah:
n Khilafah berasal dari kata khalafa (bentuk
mashdar), jika dinyatakan khalafahu fi qaumihi (mewakilinya sebagai
pemimpin di kaumnya), artinya adalah yakhlufuhu khilafatan (mewakilinya
sebagai seorang khalifah (wakil). Allah
swt berfirman:
"Dan
berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.”[al-A’raf:142]
(Imam al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz I,
hal.8).
n Dalam Kamus Lisaan al-‘Arab disebutkan, “istakhlafa
fulaan min fulaan: ja’alahu makaanahu.
Wa khalafa fulan fulaanan idza kaana khaliifatuhu yuqaal: khalaftu
fulaanan, akhlifuhu takhliifan, wa istakhlaftuhu anaa ja’altuhu khaliifatiiy wa
istakhlafahu. [fulan menggantikan [kepemimpinan] fulan yang lain; yakni
menggantikan posisinya. Fulan
menggangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinannya] jika khalifahnya berkata, “saya
mengangkat fulan [sebagai wakil kepemimpinanku], aku menganggkatnya sebagai
wakil, dan saya mengangkatnya [sebagai wakil], dan saya menjadikan ia sebagai
khalifahku, dan menggantikannya.]” (Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, Jilid I, hal. 882, 883, pada
bab khalafa).
n Abu Baqa’ berkata, “Khalifah adalah orang yang
menggantikan dan menempati posisi orang lain….sedangkan Khilaafah adalah
niyabah [perwakilan] dari orang lain, disebabkan karena kepergian orang yang
diwakilinya, kematiannya, serta karena kelemahannya.” (Abu Baqa’, al-Kulliyaat,
hal.427)
n Secara literal, khaliifah bermakna, “Orang yang
mewakili orang-orang sebelumnya. Bentuk
jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’. Seperti halnya kariimah dan
karaaim, maka bentuk jama’ dari khaliifah adalah khulafaa’. Imam Sibawaih berkata, “Khaliifah wa
khulafaa’.(Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy, Qawa’id Nidzaam al-Hukm
fi al-Islaam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, ed.I, hal. 225.)
n Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidiy menyatakan, ”...Al-Khaalifah
sendiri memiliki banyak makna, “al-Qaa’idah fi al-Daar min al-Nisaa’ [Wanita
yang duduk (menaphouse) di dalam rumah ]; “al-mukhtalif ‘an al-qaum fi al-ghazw”[orang
yang lari dari kaumnya pada saat peperangan], “al-katsiir al-khilaaf “ [orang
yang sangat menentang], “al-faasid min al-naas” [orang suka berbuat kerusakan],
atau “al-ladziy laa ghinaa’ ‘indahu wa laa khair fiihi.” [orang yang tidak
memiliki keutamaan sama sekali]. (Dr. Mahmud ‘Abd al-Majid
al-Khalidiy, Qawa’id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah,
ed.I, hal. 351).
Definisi
Khilafah menurut Istilah :
n Khilafah adalah, “Pengganti dari Rasulullah saw dalam
melaksanakan syari’at Islam.” Ini
adalah definisi khilafah menurut Musthofa Shabariy, Syaikhul Islam di
Daulah ‘Utsmaniyyah. (Musthofa Shabariy, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Aalim,
juz.IV; hal.363)
n Imam Baidlawiy mendefinisikan, “Pribadi yang
menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syari’at Islam dan menjaga agama,
dimana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim (ummat).” (Imam Baidlawiy, Hasyiyyah Syarh
al-Thawaali’, hal.228)
n Imam Kamal bin Himaam mendefinisikan, “Orang yang
berhak mengatur urusan seluruh kaum Muslim.” Imam Kamal bin Himaam, Al-Musaamirah fi Syarh
al-Masaayirah –lil Kamaaliina; hal. 141)
n Al-Qalqasyandiy mendefinisikan, “Kekuasaan umum atas
seluruh umat” (Imam
al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi
Ma’aalim al-Khilaafah, juz I, hal.8).
Imam ‘Adldi
al-Diin al-Aijiiy mendefinisikan, “Kepemimpinan umum pada perkara dunia, dan
akherat yang dimiliki oleh seseorang.” Kemudian ia menyatakan dalam kitab
yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai,”Khilafah al-Rasuul
dalam menegakkan agama dan menjaga agama yang ia wajib ditaati oleh seluruh
kaum Muslim.” (Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy, Mawaaqif wa Syarhihi,
juz.5, hal.66, point 2)
n Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khilafah
sebagai, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam
menjaga agama, dan mengatur kehidupan dunia.” (Nihaayah
al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz.7; hal.289)
n Imam al-Mawardiy
mendefinisikannya dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah
dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.” (Imam
Al-Mawardiy, Al-Ahkaam al-Sulthaniyyah, hal.3)
n Ibnu Khaldun mendefinisikan, “Wakil dari Allah dalam
menjaga agama dan urusan dunia.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
hal.159)
n Syaikh al-Islaam Ibraahim al-Baijuriy mendefinisikan, “Wakil Nabi saw untuk mengatur kemaslahatan kaum
Muslim.” (Imam Ibrahim Al-Baijuriy, Tuhfat al-Muriid ‘Ala
Jauharah al-Tauhid, juz II, hal.45).
v Dr. ‘Abd al-Majid
al-Khalidiy menyatakan, “Yang tepat, kedudukan (munashib) khilafah atau
khalifah harus didefinisikan sejalan dengan tujuan disyari’atkannya kewajiban
menegakkan Daulah Islamiyyah atas kaum Muslim.”
Bila kita kaji lebih mendalam mengenai fakta Daulah
Islamiyyah, maka kita akan mendapati dua perkara penting berikut ini:
Ø Daulah Islamiyyah bertugas menegakkan hukum-hukum syara’
atas semua rakyat; mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat, menegakkan
hudud, serta mengatur urusan masyarakat dengan Islam, dan mengatur sistem
kehidupan Islam secara umum.”
Ø Daulah Islamiyyah bertugas mengemban dakwah Islam, di
luar batas wilayah Daulah Islamiyyah seluruhnya; melenyapkan hambatan-hambatan
serta halangan-halangan yang menghadang da’wah Islam dengan metode jihad.
Walhasil, definisi Khilafah yang
paling tepat adalah,”Kepemimpinan Umum bagi seluruh kaum Muslim di kehidupan
dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah Islamiyyah ke
seluruh penjuru alam.” (Dr. ‘Abd
al-Majid al-Khalidiy, Qawaa’id Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal.229
Hukum Menegakkan Khilafah Menurut Para Ulama
n Hukum mengangkat seorang imam (khalifah) adalah
wajib. Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar mengatakan:
"Jumhur ulama berpendapat
bahwa mengangkat imam hukumnya adalah wajib.
Namun, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan, apakah kewajiban itu
ditetapkan secara 'aqliy atau syar'iy. Sebagian menyatakan wajib secara
'aqliy. Menurut al-Jahidz, al-Balkhiy
dan Hasan al-Basriy, kewajiban mengangkat imam itu ditetapkan secara akal dan
syar'iy.” (Imam Syaukani, Nail al-Authar, juz 9, hal.
146-147)
n Imam Qurthubiy, dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan:
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai
wajibnya mengangkat khilafah di kalangan umat Islam dan juga di kalangan imam
madzhab, kecuali pendapat yang dituturkan oleh orang yang tuli terhadap syariat
(al-'asham), dan siapa yang mempropagandakan atau mengikuti pendapat dari
madzabnya.” (Imam Qurthubiy, al-Jaami' li al-Ahkaam al-Quran, juz
1, hal. 264)
n Abu Ya'la al-Firaiy dalam kitab al-Ahkaam
al-Sulthaaniyyah berkata:
"Hukum mengangkat seorang
imam adalah wajib. Imam Ahmad, dalam
sebuah riwayat yang dituturkan oleh Mohammad bin 'Auf bin Sofyan al-Hamashiy,
menyatakan, "Fitnah akan muncul jika tidak ada imam yang mengatur
urusan manusia.”(Abu Ya'la al-Farra'iy, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah,
hal.19)
n Dalam kitab al-Siyasah al-Syar'iyyah, Imam Ibnu
Taimiyyah berpendapat:
"Usaha untuk menjadikan
kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub
kepada Allah adalah kewajiban. Taqarrub
kepada Allah dalam hal kepemimpinan yang dilakukan dengan cara mentaati Allah
dan RasulNya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama….” (Imam
Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161) Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab
yang sama juga menyatakan: "Bahkan, agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah
Islamiyyah..” (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah,
lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hal. 375)
n Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Siyasah
al-Syar'iyyah mengatakan:
"Atas dasar itu, Nabi saw
memerintahkan umatnya untuk mengangkat para penguasa (wulaat al-amriy) atas
mereka, dan memerintahkan penguasa tersebut untuk menunaikan amanah kepada yang
berhak. Jika mereka menetapkan hukum di
tengah-tengah manusia, mereka harus menetapkannya dengan adil. Allah juga telah memerintahkan umat manusia
untuk menaati para penguasa tersebut dalam ketaatan kepada Allah.“(Imam
Ibnu Taimiyyah, al-Siyasat al-Syar'iyyah, hal 64)
n Imam 'Ali pernah berkata:
"Manusia wajib memiliki
pemimpin (khalifah) entah yang baik maupun yang buruk." Lalu, ada yang bertanya kepada beliau,
"Amirul mukminin, kalau yang baik kami sudah mengetahuinya, akan tetapi
bagaimana dengan pemimpin yang dzalim?
Imam Ali menjawab, "Asalkan dia tetap menjalankan hudud,
mengamankan jalan-jalan umum, berjihad melawan musuh, dan membagikan harta
fai'.” (lihat dalam Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa,
juz 28, hal. 297)
n Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fi al-Milaal wa
al-Ahwaa' wa al-Nihaal mengatakan:
"Mayoritas Ahlu Sunnah,
Murji'ah, Syi'ah, dan Khawarij bersepakat mengenai wajibnya menegakkan imamah
(khilafah). Mereka juga bersepakat,
bahwa umat Islam wajib mentaati imam adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di
tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa
Rasulullah saw." (Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milaal wa
al-Ahwaa' wa al-Nihaal, juz 4, hal. 87)
n Al-Haitsamiy dalam al-Shawaa`iq al-Muhriqah
berpendapat:
"Ketahuilah, para shahabat
ra telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya
zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan,
mereka telah menjadikan hal ini sebagai kewajiban yang terpenting. Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri
dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitsamiy,
al-Shawaa`iq al-Muhriqah, hal. 17)
n Imam Nawawiy, dalam Syarah Muslim berkomentar:
"Mereka (imam madzhab)
telah bersepakat, bahwa kaum muslim wajib mengangkat seorang khalifah." (Imam
Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 205)
n 'Abdurrahman
'Abdu al-Khaaliq, dalam bukunya al-Syura, mengatakan:
"Imamah
al-'Amah (kepemimpinan umum) atau khilafah adalah institusi yang dibebani tugas untuk menegakkan syariat Allah swt,
memutuskan hukum dengan KitabNya, menjalankan urusan kaum muslim, memperbaiki
keadaan mereka, dan melancarkan jihad terhadap musuh mereka. Tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum
muslim mengenai kewajiban tegaknya Khilafah dan keharusan eksistensinya
(keberadaannya). Mereka akan mendapatkan
dosa jika lalai dari upaya mendirikannya.“‘(Abdurrahman
'Abd al-Khaliq, al-Syura, hal. 26)
n Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah berkata:
"Sesungguhnya, mengangkat
seorang imam (khalifah) adalah wajib. Kewajibannya
dalam syariat telah diketahui berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in. Tatkala Rasulullah saw wafat, para shahabat
segera membai'at Abu Bakar ra dan menyerahkan pertimbangan berbagai macam
urusan mereka kepadanya. Demikian pula
yang dilakukan kaum Muslim pada setiap masa setelah Abu Bakar. Untuk itu, pada setiap masa yang ada, tidak
pernah terjadi anarkhisme di tengah-tengah umat manusia. Kenyataan semacam ini merupakan ijma' yang
menunjukkan adanya kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah)." (Ibnu
Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 167 )
n Imam
al-Mawardiy, dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah menyatakan:
"Menegakkan
Imamah di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada ijma'
shahabat..“(Imam al-Mawardiy, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal.
5)
n 'Abd al-Qadir
al-Audah, dalam bukunya al-Islaam wa Awdla'unaa al-Siyaasiyah,
menyatakan:
"Khilafah
dianggap sebagai salah satu kewajiban diantara fardlu kifayah yang lain,
seperti halnya jihad dan peradilan (qadla').
Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat,
maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum muslim. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang
melaksanakannya, maka seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi
syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini. Sebagian 'ulama berpendapat, bahwa dosa hanya
menimpa dua golongan saja dari kalangan kaum muslim; yakni pertama, ahlu
al-ra'yi (kalangan ulama) hingga mereka mengangkat salah seorang dari kaum
muslim sebagai khalifah; kedua, orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai
khalifah hingga seorang dari mereka terpilih sebagai khalifah. Pendapat yang
benar adalah; dosa tersebut akan menimpa seluruh kaum muslim. Sebab, seluruh kaum Muslim telah menjadi
obyek taklif (khithab) dari syariat, dan mereka berkewajiban untuk
menegakkannya….Jika pemilihan khalifah ini diserahkan kepada satu golongan dari
kalangan kaum muslim, maka kewajiban seluruh umat adalah mendorong golongan
tersebut untuk menunaikan kewajibannya. Jika
tidak, umat turut memikul dosanya…" ('Abd al-Qadir al-Audah, al-Islaam wa
Awdla'unaa al-Siyasiyah, hal. 124)
n Dr. Mahmud al-Khalidiy, dalam bukunya Qawaa'id Nidzaam
al-Hukm fi al-Islaam, mengatakan:
"Tidak ada kehinaan yang
menimpa kaum Muslim –yang menjadikan mereka hidup di pinggiran dunia--,
mengekor berbagai umat, dan terbelakang dalam sejarah, kecuali kelalaian mereka
dalam berjuang untuk mendirikan Khilafah, serta tidak bersegeranya mereka untuk
mengangkat seorang Khalifah bagi mereka.
Semua ini dikarenakan adanya kewajiban untuk selalu terikat dengan hukum
syariat yang telah menjadi perkara yang sudah lazim (ma'lum min al-diin wa
al-dlarurah), seperti halnya sholat, puasa, dan haji. Melalaikan tugas untuk melangsungkan kembali
kehidupan Islam adalah kemaksiyatan terbesar.
Untuk itu, mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslim adalah kewajiban
dan merupakan keharusan dalam rangka
menerapkan hukum-hukum syariat atas kaum muslim, dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh pelosok dunia.(“Dr. Mahmud al-Khalidiy, Qawaa'id
Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal. 248)
n Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh
'ulama-'ulama terkemuka, misalnya, Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Muslim,
al-Tirmidziy, al-Thabaraniy, serta ashhaab al-sunan yang lainnya; Imam
al-Zujaj, al-Baghawiy, Imam Zamakhsyariy, Ibnu Katsir, Imam Baidlawiy, Imam
Al-Thabariy, Qalqasyandiy, dan lain-lain. (Ibnu Mandzur,
Lisaan al-'Arab, hal. 26; al-Qalqasyandiy, Maatsir al-Inaafah fi Ma'aalim
al-Khilaafah, juz 1, hal. 16; Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz 1,
hal. 209; al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta'wiil, hal.
206, al-Thabariy, Tariikh al-Umam wa al-Mulk, juz 3; hal. 277; Ibnu
Taimiyyah, Minhaaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, juz 1, hal. 137-138; Ibn
'Abd al-Barr, al-Isti'aab fi Ma'rifah al-Ashhaab, juz 3, hal. 1150, dan
sebagainya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar