Selasa, 09 Juli 2013

IBU, NEGARA DAN PORNOGRAFI


Belakangan ini kita dikejutkan oleh maraknya pemberitaan tentang seorang anak SD yang melakukan perkosaan terhadap tetangganya yang duduk di bangku SMP, juga berbagai pemberitaan mulai pergaulan bebas anak dan bisnis mucikari anak. Sebagai seorang Ibu dengan 3 orang anak laki2, saya sangat kwawatir dengan perkembangan anak2 dan generasi kita di era digitalis seperti sekarang ini. Teknologi yang seharusnya dapat kita gunakan untuk mempermudah komunikasi namun di sisi lain menimbulkan masalah baru yaitu mempermudah pula akses pornografi tanpa pandang bulu ke segala lapisan tak terkecuali anak dan remaja yang akhirnya menjadi korban. 
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati, sejak tahun 2008 sampai 2010 muncul fakta bahwa 67 persen dari 2.818 siswa SD kelas IV, V, dan VI di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Sekitar 24% mengaku melihat pornografi melalui media komik, 22% dari internet, 17% dari game, 12% dari film di televisi, dan 6% melalui telepon genggam. Data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya keterlibatan anak SD dalam mengakses atau menonton tayangan pornografi saat ini sudah dalam tahap memprihatinkan.

             Jika kita membahas masalah pornografi tentu kita harus memandang bahwa hal ini sudah menjadi bagian dari industri yang menjanjikan pundi –pundi dimata para produsennya. Secara global, bisnis pornografi ini ditaksir meraih keuntungan sebesar 3.600 dolar AS per detik atau sekitar Rp 36 juta, menurut menkom info Tifatul Sembiring (
www.tribunnews.com,17/06/2010) Jumlah besar penduduk Indonesia ini adalah sasaran menggiurkan bagi pelaku bisnis pornografi. Jadi wajar jika kemudian teror pornografi dapat kita rasakan di tengah-tengah kita saat ini,  bahkan bisa juga dikatakan negeri ini tengah dicengkeram penjajahan pornografi. Buktinya, konten porno di media cetak, novel, komik, lukisan,VCD, acara televisi, apalagi melalui internet begitu mudah ditemukan dan dikonsumsi oleh siapa saja dari semua umur dan latar belakang sosial. Bahkan Associated Press (AP) menempatkan Indonesia sebagai surga pornografi kedua setelah Rusia.
Dengan kondisi Indonesia yang mayoritas muslim ini, amatlah sangat memprihatinkan kalau ternyata negeri ini juga terkategori negeri darurat pornografi. Siapa ibu yang tidak resah dan khawatir  ketika mendampingi buah hatinya yang sedang mencari data pelengkap untuk tugas sekolahnya  misalnya, harus melihat iklan –iklan obat kuat di sebuah web atau laman pengunduhan yang dipenuhi dengan game online dan iklan yang vulagar mengumbar aurat, meski secara tidak sengaja. Bukankah keberadaan foto-foto tersebut sudah mampu menciptakan perpustakaan pornogarafi di otak anak-anak kita yang itu akan berdampak pada perkembangan mentalnya dan mengganggu konsentrasi belajarnya? Seorang Psikolog yang khusus menangani masalah pornografi,  Mark B Kastleman mengungkapkan berbabagai pengaruh buruk pornografi ini yaitu :
1.Menyebakan kerusakan otak permanen: Visual Crack Cocain/Erototoksin), sehingga semua yang diangan dan di kepalanya adalah hal-hal yang berbau porno.
2.  Anak yang belum baligh bisa menjadi pecandu pornografi seumur hidup sehingga iman akan rusak dan terkikis.
3. Anak dan remaja memiliki mental model porno atau perpustakaan porno yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.
4. 5 bagian otak bisa rusak : Orbito frontal midfrontal, Insula hippocampus temporal, Nucleus accumbers patumen, Cingalute dan Cerebellum.
( Sumber: KPAI)
Maka adalah suatu hal yang tidak mengherankan jika pemberitaan terkait korban  perkosaan dan pelecehan seksual akibat pornografi mulai usia usia dewasa sampai anak-anak sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Anak-anak yang seharusnya riang gembira meniti masa muda dengan seabreg prestasi, kini harus meringkuk di balik dinginnya tembok LP Anak. Kasus pemerkosaan yang dilaporkan kepada Polres Jakarta Timur misalnya juga meningkat 300% dalam kurun waktu 2002-2003. Menurut data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak ( sebagaimana yang di kutip kabareskrim Polri Makbul Padmanegara 2006 ) 75% pelaku perkosaan mengakui perbuatannya dilakukan setelah menonton film porno. Sungguh sebuah fakta yang terasa begitu menyesakkan dada.
Biang Keladi Pornografi
Siapapun pasti tidak ada yang menginginkan bahwa dirinya maupun keluarganya menjadi korban dari kejahatan pornografi. Namun selama sistem yang kita gunakan di negeri ini masih menggunakan sistem yang sekuler  yakni memisahkan antara agama dan kehidupan, maka akan senantiasa kita dapati kasus-kasus pornografi maupun kejahatan seksual pada anak-anak dan remaja. Sekulerisme menolak peran agama untuk mengatur kehidupan manusia dan liberalisme mengajarkan pada anak-anak kita untuk  bebas berprilaku dan mengekspresikan diri di depan publik. Hukum akhirnya dibelenggu oleh ide kebebasan, kepentingan dan dorongan hawa nafsu termasuk kepentingan para kapitalis selaku produsen sekaligus penikmat industri pornografi ini. Selama bisnis ini menyandarkan pada kaidah supply dan demand semata tanpa mempedulikan caranya benar atau salah, baik atau buruk bahkan meski mengancam masyarakat sekalipun, pornografi dan eksploitasi erotisme menjadi jalan mudah meraup kentungan.
 Ambigu Negara Dalam Membabat Pornografi
Yang sangat menentukan nasib generasi penerus bangsa ini adalah peran negara. Karena pornografi telah menjadi sebuah fenomena gunung es, maka negara harus lebih serius dalam mengupayakan penanganan pornografi ini. Harus ada keberanian yang lebih bagi negara untuk menindak para pelaku pornografi maupun pornoaksi, seperti yang terjadi di korea dimana budaya K-Pop sedang marak akhir2 ini kita ikuti, namun ternyata di negeri asalnya justru berlaku hukum overexposure  yaitu peraturan denda 80 ribu won atau sekitar 400 ribu rupiah bagi perempuan-perempuan yang memakai rok  mini. Seharusnya kita sebagai negeri yang dihuni oleh mayoritas muslim bisa memberlakukan aturan yang sama bahkan lebih terpadu lagi antara aturan syariah dan negara. Toh semuanya itu demi menjaga keimanan kehidupan warga negaranya sekaligus meminimalisir terjadinya kejahatan seksual akibat pornografi. Sebab tidak bisa dipungkiri hal inilah yang acap kali mengundang rangsangan yang dapat memicu berbagai macam tindak pelecehan dan kejahatan seksual di masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh DR. Marry Anne Layden, dari University of pennsylvania, “ Saya telah menangani pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Saya belum pernah menangani satu kasus pun yang tidak diakibatkan oleh pornografi”.
Hanya dengan peran negaralah pornografi juga pornoaksi dapat diberantas secara maksimal, negara dengan menetapkan sanksi hukum yang dapat membuat jera dan mengeluarkan kebijakan yang memiliki kemampuan untuk dapat benar-benar melakukan pencegahan dan pengenyahan industri pornografi dan bukan melindunginya.
Selain melarang penyebaran segala bentuk pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat serta larangan memproduksi materi pornografi, ada  satu hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah bagaimana pemerintah mempunyai standar yang jelas tentang definisi “porno” itu sendiri. Selama di negeri ini masih ada yang mengganggap bahwa sebuah materi pornografi itu adalah sebuah seni dan budaya, maka peghapusan pornografi di negeri ini selamanya hanya akan menjadi mimpi. Buktinya bahwa Undang-undang tentang pornografi tak mampu mengatasi masalah pornografi dan pornoaksi yang berkembang di tengah masyarakat. UU ini tidak bisa digunakan untuk mencegah dan menindak para pelaku pornografi dan pornoaksi. Sementara Kelompok liberal yang dulu menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) pun berlepas tangan atas dampak kerusakan yang muncul


Menjadi Ibu Peduli
Mengingat ancaman bahaya dan dampak pornografi yang bersifat permanen maka harus ada upaya dan kesungguhan dari tiap-tiap diri untuk melakukan pencegahan terhadap keluarga dan lngkungan tempat tinggal di sekitar kita. Cara yang bisa kita lakukan adalah edukasi melalui dialog dan diskusi mengenai fakta pornografi ini dengan para orang tua guna melakukan penyadaran bahwa Keberadaan Media komunikasi  baik itu smart phone, internet, VCD maupun televisi telah menjadi akses masuknya pornografi. Dari pengalaman saya yang sering mendampingi anak menonton televisi, sering ditemui adanya muatan pornografi dalam iklan-iklan yang sering muncul di Telavisi, misalnya iklan axe atau Walsh versi barat yang menampilkan wanita yang menggunakan busana minim tanpa bra melompat dari sebuah kerumunan pesta. Tayangan tersebut seharusnya meresahkan orang tua. Belum lagi, banyak orang tua yang awam teknologi justru bangga jika anaknya melek teknologi kemudian anak-anak di fasilitasi smart phone, internet dan dibiarkan mengaksesnya sendirian atau dengan peergroupnya di warnet tanpa pendampingan orang tua. Saya pernah mendapati anak saya yang baru belajar baca tulis bercerita tentang temannya yang suka mengetik kata-kata yang tidak pantas di mesin pencari google, dan  kemudian menjadikannya sebagai bahan tertawaan yang sangat tidak pantas untuk anak-anak seusia mereka. Mebahayakan bukan? bahkan sebenarnya tanpa bermaksud mengetik kata porno pun terkadang para pengguna internet akan ditawari banyak pilihan pornografi, misalnya mengetik kata SMP, maka yang muncul tidak saja SMP favorit namun muncul juga judul “Anak SMP Bugil, Video Mesum Anak SMP, dll”. Bagaimana jika kemudian anak –anak kita mengaksesnya secara berulang sehingga kecanduan? Orang tua mana yang tidak merasa dirinya gagal dalam melakukan penjagaan terhadap buah hatinya? Padahal teror pornografi sudah sedemikian rupa.
Disinilah peran kita sebagai orang tua khususnya ibu harus kita optimalkan. Kepada siapa lagi kita akan mempercayakan pendidikan anak-anak kita jika kita sebagai orang tua tidak juga memiliki kepedulian dalam masalah pornografi ini. Harus terbentuk pola komunikasi yang baik antara orang tua, anak dan tiap anggota keluarga agar anak-anak tidak terjebak dalam pergaualan bebas yang menjerumuskan. Begitu pula mengusahakan hubungan sinergis antar orang tua di sekitar kita atau minimal mengenal siapa dan bagaimana teman dekat anak- anak  adalah patut kita upayakan.
 Perjuangan kita dalam melakukan penyadaran di tengah masyarakat akan  menjadi semakin sempurna dengan melakukan aktifitas dakwah dalam menegakkan syariah, sebab biang keladi maraknya pornografi ini adalah sistem kapitalisme sekuler, maka harus ada sistem pengganti yang mengatur manusia dengan aturan dari Allah SWT, sang Pencipta yaitu Syariah Islam itu sendiri. Sebab jika menyerahkan pengaturan pornografi kepada manusia yang di pengaruhi dengan hawa nafsu, maka tidak akan pernah terjadi titik temu dalam menentukan standar dan definisi dari kata PORNO tersebut.
Berantas Tuntas Pornografi Dengan Islam
Kalau sistem hukum yang ada tak bisa lagi mengatasi persoalan pornografi lalu dengan ada masyarakat bisa dilindungi? Jawabnya, cuma satu yakni dengan Islam. 

Islam memiliki seperangkat sistem dan norma yang menjadi solusi tuntas untuk memberantas pornografi dan pornoaksi. Hanya saja pelaksanaannya secara sempurna membutuhkan negara Khilafah yang menerapkannya.

Secara individu, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan tegas. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut. Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali oleh orang yang berhak, baik terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. 

Muhammad bin Jahsy meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW lewat kepada Ma’mar, sedangkan kedua pahanya terbuka. Maka Rasulullah SAW menegur : “Hai Ma’mar tutuplah pahamu, sebab kedua paha itu adalah aurat”. (HR. Bukhari, Hakim dan Ahmad). 

“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi SAW dengan menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling daripadanya dan berkata : ‘Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita telah menginjak dewasa (baligh), maka tak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil beliau menunjuk muka dan telapak tangannya”. (HR. Abu Dawud, hadits hasan lighairihi)

Islam pun melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan, bercampur-baur antara pria-wanita, berkhalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada perzinaan. Kalau wanita dilarang tabarruj, pria pun diperintahkan untuk menundukkan pandangan terhadap wanita yang bukan mahramnya. 

Pola hubungan pria dan wanita diatur sedemikian rupa sehingga mereka akan tercegah dari segala tindakan yang menjurus kepada tindakan pornoaksi dan memproduksi materi pornografi. Namun bukan berarti melarang adanya hubungan pria dan wanita di ranah publik misalnya dalam pendidikan, perdagangan, transportasi maupun pertanian. 

Secara sistemik, Islam melarang penyebaran segala bentuk pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Apalagi memproduksi materi pornografi. Perzinaan seperti yang dilakukan artis-artis belakangan, sanksinya pun sangat tegas: rajam bagi yang sudah pernah menikah dan cambuk 100 kali bagi yang bujangan/perawan. 

Dalam kaitan ini negara mengawasi secara ketat seluruh media yang ada. Langkah ini tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan, tapi ini sebagai upaya membentengi umat dari tindak kemungkaran yang bisa mendatangkan murka Allah SWT. Bila pornografi dan pornoaksi itu haram, maka jalan yang menuju ke kedua hal itu pun haram. Di sinilah negara memiliki peran vital. 

Disamping pelarangan, negara juga mengarahkan dan bertanggungjawab penuh membina dan mendidik ketaqwaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai visi dan pandangan hidup yang jauh kedepan, yakni bagaimana meraih kebahagiaan diakhirat. Ketika masyarakat memandang bahwa kenikmatan diakhirat itu lebih baik dan kekal, maka mereka akan secara sadar meninggalkan kenikmatan tabu yang diharamkan, bahkan akan mampu mengorbankan kenikmatan yang hukumnya boleh sekalipun, guna meraih kenikmatan akhirat yang abadi. 

Pendidikan yang dilakukan Rasulullah saw, dengan izin Allah telah mampu membentuk orang seperti Sa’ad as Sulami (Julabib), seorang pemuda yang baru saja menikah tetapi belum bertemu dengan istrinya, rela meninggalkan kenikmatan karena memenuhi panggilan jihad bersama Rasul. Ketika ia syahid, Rasulullah saw mengumpulkan semua barang dan kendaraan milik Julabib untuk diserahkan kepada istrinya, yakni putri Amr bin Wahb, seraya berkata, “katakanlah pada Amr bin Wahb, Sesungguhnya Allah telah menikahkan Sa’ad As-Sulami dengan wanita yang lebih baik dari putrimu (bidadari surga)”

Secara ekonomi, Islam telah menggariskan adanya larangan bagi setiap Muslim untuk mencari rezeki dengan jalan haram seperti yang dilakukan oleh para pelaku pornoaksi sekarang ini seperti menjadi artis porno, memproduksi media porno—internet, VCD, film, sinetron dan sebagainya— menyiarkannya, menjual materi pornografi, dan yang terkait dengan pornografi lainnya. 

Sanksi Pornografi 

Pornografi itu jelas haramnya, karena merupakan sarana yang menghantarkan kepada perkara yang diharamkan oleh Allah SWT, berdasarkan kaidah syara: Al wasilatu ila al haram, haraam (sarana yang menghantarkan kepada perkara haram maka hukumnya haram). Tidak disyaratkan dalam kaidah ini bahwa sarana itu harus membawa kepada keharaman secara pasti, tetapi cukup dengan dugaan kuat. 

Di samping itu, Islam pun mengharamkan menceritakan hubungan intim suami-istri, meskipun hanya diceritakan kepada istrinya yang lain. Apalagi dipertontonkan kepada khalayak. Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya(HR Muslim dari Abi Said al-Khudri) 

Termasuk haram juga merekam adegan ranjang untuk disebarkan, agar bisa ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka seperti setan:
هَلْ تَدْرُونَ مَا مَثَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ شَيْطَانَةٍ لَقِيَتْ شَيْطَانًا فِي السِّكَّةِ فَقَضَى مِنْهَا حَاجَتَهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ
“Tahukah apa permisalan seperti itu?” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut adalah seperti setan wanita yang bertemu dengan setan laki-laki di sebuah gang, kemudian setan laki-laki tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu Dawud) 

Maka, siapapun yang melakukan atau yang menyebarkannya seperti penyedia situs, yang menggandakan CD, produser film, sinetron, dan lain sebagainya, dalam pandangan syariah berarti telah melakukan tindakan pidana 

Kasus semacam itu dalam sistem pidana Islam termasuk dalam bab ta’zîr. Jika terbukti maka bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad qadhi; bisa dalam bentuk tasyhir (diekspos), di penjara, dicambuk dan bentuk sanksi lain yang dibenarkan oleh syariah. Jika materi pornografi disebarkan secara luas sehingga bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat, tentu bentuk dan kadar sanksinya bisa diperberat sesuai dengan kadar bahaya yang ditimbulkan bagi masyarakat itu. 

Adapun dari sisi dosa, ia seperti melakukan investasi dosa, yang dosanya tetap mengalir kepadanya walaupun dia sudah meninggal. Rasulullah bersabda: “… barang siapa memberikan suri tauladan yang buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun.” (HR. Muslim) 

Al Hafiz al Mundziry (wafat 656 H) dalam kitabnya Attarghib wa Attarhiib (1/62) menyatakan:
وناسخ غير النافع مِمَّا يُوجب الْإِثْم عَلَيْهِ وزره ووزر من قَرَأَهُ أَو نسخه أَو عمل بِهِ من بعده مَا بَقِي خطه وَالْعَمَل بِهِ
orang yang menulis hal yang tidak bermanfaat adalah diantara sesuatu yang mewajibkan dosa, baginya dosanya dan dosa orang yang membacanya atau menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada.




Sungguh pantaslah jika semakin membuncah rindu ini pada tegaknya Syariah dalam bingkai khilafah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar